Kamis, 17 Juli 2025

Koperasi Merah Putih: Mimpi Besar yang Harus Dibangun dengan Kaki di Tanah ( Sebuah Opini )

 

Di tengah gemuruh wacana ekonomi kerakyatan yang kerap menguap menjadi sekadar retorika, kehadiran konsep Koperasi Merah Putih layaknya embun di musim kemarau. Sebagai pengamat yang akrab dengan denyut nadi ekonomi akar rumput - dari warung kopi tubruk hingga lapak rokok kartel, saya melihat peluang emas sekaligus jurang kegagalan dalam gagasan ini.

Jiwa dan Semangat Koperasi Merah Putih

Inti dari konsep ini sesungguhnya mulia: menghidupkan kembali ruh koperasi sebagai penyangga utama perekonomian bangsa. Bukan sekadar wadah iuran atau pembagi sembako, melainkan mesin penggerak ekonomi riil yang mampu mengangkat martabat UMKM setara dengan korporasi besar. Namun, seberapa realistiskah cita-cita luhur ini?

Di era serbadigital dimana marketplace asing mendominasi, Koperasi Merah Putih menawarkan janji kemandirian. Bayangkan petani kopi Enrekang yang mampu menjual langsung kepada konsumen akhir, bebas dari belitan 5-6 tengkulak. Atau pengrajin rotan Desa Ledan yang menembus pasar ekspor dengan harga pantas. Inilah mimpi kolektif yang patut diperjuangkan.

Belajar dari Pengalaman BUMDes dan KUD

Sebelum larut dalam euforia, mari berkaca pada dua pendahulu: BUMDes dan KUD.

BUMDes yang diagungkan sebagai lokomotif ekonomi desa, nyatanya banyak yang menjadi "proyek ATM" - hidup sebatas ada suntikan dana pemerintah. Sebuah laporan media mengungkap BUMDes di Jawa Timur dengan gedung megah namun aktivitas ekonomi mandek setelah dana stimulan habis.

Nasib KUD lebih memilukan. Yang dulu menjadi kebanggaan Orde Baru, kini menjelma "koperasi zombie" - ada secara administratif tapi mati secara ekonomi. Di berbagai daerah, aset KUD berupa puluhan hektar tanah terbengkalai akibat konflik internal, ironisnya justru disewakan ke perusahaan dengan harga murah.

Tiga Penyakit Kronis yang Harus Diwaspadai

Pengamatan lapangan mengungkap tiga penyakit ganas yang menggerogoti koperasi:

  1. Sindrom Ketergantungan: Ketergantungan berlebihan pada APBN/APBD membuat banyak koperasi kolaps saat program pemerintah berakhir
  2. Virus KKN: Praktik tidak transparan yang membuat dana anggota raib tanpa jejak
  3. Penyakit Sklerosis: Kekakuan beradaptasi dengan perubahan zaman, masih bertahan dengan sistem manual di era digital

Pilar Pembangunan Koperasi Merah Putih

Meski tantangan berat, Koperasi Merah Putih bisa menjadi game changer dengan:

  • Meritokrasi: Sistem rekrutmen terbuka berdasarkan kompetensi, bukan kedekatan
  • Transformasi Digital: Mengintegrasikan teknologi dalam seluruh aspek operasional
  • Kemandirian Bisnis: Membangun model bisnis berkelanjutan, bukan mengandalkan bantuan

Peluang di Era Digital

Di genggaman tangan kini terbentang peluang tak terbatas:

  • Platform e-commerce khusus produk anggota yang mampu bersaing dengan marketplace besar
  • Sistem pembiayaan peer-to-peer berbasis komunitas dengan bunga manusiawi
  • Pusat pelatihan digital untuk meningkatkan kapasitas anggota

Peran Vital Generasi Muda

Kebangkitan Koperasi Merah Putih membutuhkan sentuhan generasi muda yang visioner. Seperti di Bali, dimana KUD bangkit karena dikelola anak muda yang menghadirkan:

  • Sistem administrasi berbasis cloud
  • Transparansi keuangan real-time via aplikasi
  • Strategi pemasaran kreatif melalui TikTok dan Instagram Reels

Peran Ideal Pemerintah

Pemerintah harus bertransformasi dari "diktator" menjadi fasilitator dengan:

  • Pelatihan manajemen modern berbasis praktik
  • Jaringan akses pasar yang terintegrasi
  • Penyediaan infrastruktur pendukung memadai

Titik Balik Sejarah

Kita berada di persimpangan penting dimana Koperasi Merah Putih bisa menjadi:

  • Monumen kegagalan ekonomi kerakyatan kesekian, atau
  • Lompatan sejarah yang mengubah wajah perekonomian nasional

Seperti petuah bijak petani Kediri: "Koperasi ibarat tanaman. Butuh tanah subur (regulasi), air cukup (modal), sinar matahari (transparansi), dan petani tekun (komitmen)."

Koperasi Merah Putih memang mimpi besar. Namun dengan belajar dari kegagalan masa lalu dan komitmen semua pihak, mimpi ini bisa menjadi nyata. Jangan terjebak romantisme masa lalu, tapi juga jangan kehilangan semangat membangun masa depan.

Sudah cukup janji. Saatnya bekerja! Bukan dengan retorika kosong, melainkan aksi nyata dimulai dari lingkungan terkecil kita.

Sambil menyeruput kopi terakhir, saya membayangkan produk koperasi Indonesia bersaing di panggung dunia - bukan sebagai komoditas murah, melainkan produk premium bernilai tambah. Bukankah koperasi pertanian Thailand dan Vietnam telah membuktikan ini mungkin?

Kunci suksesnya terletak pada konsistensi dan keberanian berinovasi. Dengan semangat gotong royong sebagai DNA bangsa dan kecerdasan memanfaatkan teknologi, Koperasi Merah Putih bisa menjadi mercusuar ekonomi kerakyatan dunia.

Mari buktikan bahwa ekonomi berkeadilan bukan utopia, melainkan realitas yang bisa kita wujudkan bersama melalui kerja keras dan ketekunan. Selamat berjuang!

 


Selasa, 15 Juli 2025

"Kopi dan Sejarah: Menyimak Jejak Raja di Kedai Majao"


 Suatu hari yang penuh kenangan, saya diajak oleh seorang sahabat pemilik atau owner Kopi Tjora untuk menyambut malam di Kedai Majao, sebuah tempat yang sudah lama dikenal di Rura Anggeraja. Kedai ini tak hanya terkenal dengan kopi yang rasanya menggugah selera, tetapi juga dengan cerita-cerita sejarah yang menyimpan kekuatan dan kebijaksanaan. Kedai Majao bukan sekadar tempat untuk menikmati kopi, melainkan sebuah ruang untuk menyelami kedalaman waktu, tempat yang membiarkan kita merasakan jejak-jejak masa lalu.

Sayapun lemudian duduk dengan secangkir kopi, pandangan saya tertuju pada Gunung Bambapuang yang menjulang tinggi. Keindahan alam ini bukan sekadar pemandangan biasa. Gunung Bambapuang adalah saksi bisu dari sejarah yang mengalir dalam darah tanah Duri. Di kaki gunung ini lahir kisah legendaris tentang Kerajaan Tallu Batu Papan, sebuah kerajaan yang terbentuk lewat tangan bijak seorang raja bernama Puang Pasalin. Beliau dikenal dengan gelar To Mangpeluah Padang, sebuah gelar yang menandakan kebijaksanaan luar biasa dalam membagi kekuasaan di Tanah Duri.

Dahulu kala, Puang Pasalin bukan hanya memerintah, tapi juga membentuk sejarah. Ia membagi wilayah Duri menjadi tiga kerajaan, yang dipimpin oleh tiga orang raja yang masih bersaudara kandung. Maka lahirlah "Tallu Batu Papan", yang dalam bahasa lontara berarti Tiga Kerajaan yang Dipimpin oleh Tiga Orang Raja yang Masih Bersaudara Kandung. Sebuah pembagian yang mencerminkan kebijaksanaan dalam menjaga keseimbangan dan keharmonisan antara sesama.

Puang Pasalin, dengan keteguhan hatinya, juga dianugerahi tujuh orang anak, namun hanya tiga yang meneruskan legasi kepemimpinan. Mereka adalah Puang Kamaniang (Puang To Matasa'), Puang Kapatahi (Puang To Mataran), dan Puang Kadere (Puang To Mala'bih). Ketiga putra ini lah yang kemudian melanjutkan tongkat estafet pemerintahan, masing-masing memimpin wilayah yang menjadi bagian dari kerajaan yang terbagi dengan cermat. Kisah mereka adalah bagian dari sejarah yang tak lekang oleh waktu, sebuah perjalanan panjang yang masih bisa kita rasakan, meskipun hari ini kita hanya menikmati secangkir kopi.

Kehangatan kopi di Kedai Majao ini seperti membawa saya berkelana dalam waktu, seakan setiap tetes kopi yang masuk ke dalam tubuh memberi kesempatan bagi sejarah untuk hidup kembali. Setiap seduhan kopi seolah menyatu dengan kisah para leluhur yang menjaga tanah ini dengan penuh kesabaran dan kebijaksanaan. Begitu juga, dalam setiap cangkir kopi, ada ketelatenan yang mengingatkan kita pada betapa berartinya setiap langkah yang kita ambil dalam hidup, sama seperti para raja yang bijak membangun kerajaan mereka.

Di kedai ini, saya teringat akan sebuah kutipan dari kaum sufi yang sangat mengena: "Kopi bukan hanya minuman, tapi juga jalan menuju kedamaian jiwa. Setiap tetesnya adalah meditasi, setiap aroma adalah doa." Di Kedai Majao, kopi lebih dari sekadar penyegar raga. Setiap cangkir yang dihidangkan adalah penghubung antara masa kini dan masa lalu, membawa kedamaian dan kebijaksanaan yang tak tampak oleh mata, namun terasa dalam setiap detiknya.

Jadi, setiap kali saya duduk di Kedai Majao, secangkir kopi di tangan, saya merasa seperti sedang menulis ulang sejarah. Seperti para raja yang memimpin dengan bijak, saya pun diajak untuk meresapi makna di balik setiap tegukan kopi. Di sini, kopi bukan hanya soal rasa, tetapi juga tentang bagaimana kita menghargai perjalanan panjang kehidupan yang penuh dengan cerita, penuh dengan makna. Begitu banyak yang bisa kita pelajari, lebih dari sekadar rasa, tapi juga kebijaksanaan yang mengalir dalam sejarah tanah ini, yang sampai hari ini tetap terjaga dengan baik.

Senin, 14 Juli 2025

Tentang Putusan Mahkamah Konstitusi No. 135/PUU-XXII/2024 ( Kulit Luar )







Ad_hocPutusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 135/PUU-XXII/2024 merupakan hasil dari pengujian konstitusionalitas norma dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang khusus menguji aspek desain pemilu serentak nasional. Permohonan pengujian ini diajukan oleh akademisi dan aktivis pro-demokrasi yang menganggap pelaksanaan pemilu serentak pada 2019 dan 2024 menimbulkan kompleksitas dalam tata kelola yang membebani institusi penyelenggara pemilu serta mereduksi kualitas partisipasi publik.

Dalam perspektif ilmu pemerintahan, khususnya dalam teori tata kelola demokratis (democratic governance), desain pemilu adalah elemen struktural yang memengaruhi langsung efektivitas penyelenggaraan negara. Pemilu serentak yang melibatkan lima jenis pemilihan—Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, serta DPRD provinsi dan kabupaten/kota—telah memberikan tekanan berlebih terhadap kapasitas institusional Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan sumber daya manusia di tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS). Masalah teknis dan administratif yang muncul, mulai dari kelelahan petugas KPPS yang mengakibatkan korban jiwa, hingga kekacauan dalam rekapitulasi suara, mengindikasikan betapa beratnya beban yang dihadapi oleh penyelenggara pemilu.

Secara yuridis, pemohon menganggap bahwa desain pemilu serentak dalam UU No. 7 Tahun 2017 bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusional, terutama terkait asas keadilan pemilu dan efektivitas pelaksanaan kedaulatan rakyat yang tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 22E UUD 1945. Dalam teori hukum tata negara, pengujian ini menggambarkan penerapan asas supremasi konstitusi (the supremacy of the Constitution), yang memberi kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menilai apakah suatu norma hukum sudah memenuhi prinsip legalitas dan proporsionalitas dalam negara hukum demokratis.

Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menegaskan bahwa integrasi pemilu dalam satu hari, meskipun mungkin efisien dalam teori, ternyata tidak menjamin efisiensi substantif. Justru, hal tersebut mempersempit ruang deliberasi publik yang berkualitas, khususnya dalam pemilihan legislatif daerah. Oleh karena itu, dalam Putusan No. 135/PUU-XXII/2024, MK memutuskan bahwa pemilu legislatif daerah (DPRD provinsi dan kabupaten/kota) harus dipisahkan dari pemilu nasional, dengan interval minimal dua tahun setelah pelantikan Presiden dan Wakil Presiden.

Pemisahan Pemilu: Langkah Korektif dalam Demokrasi

Putusan MK ini dapat dipahami sebagai langkah korektif dalam proses institusionalisasi demokrasi, sebagaimana dijelaskan dalam teori demokrasi prosedural dan substantif. Pemisahan pemilu bertujuan untuk meningkatkan efektivitas administrasi pemilu sekaligus memperkuat demokrasi lokal yang lebih akuntabel dan terfokus.

Namun, dari sudut pandang teori sistem hukum, keputusan ini membawa implikasi sistemik terhadap struktur hukum dan kelembagaan penyelenggaraan pemilu. Pemisahan jadwal pemilu membutuhkan rekonstruksi regulasi teknis, penguatan kapasitas kelembagaan, serta perencanaan anggaran yang lebih kompleks. Hal ini memerlukan koordinasi lintas kelembagaan dan kebijakan berkelanjutan agar prinsip-prinsip hukum tata pemerintahan yang baik (good governance) dapat terwujud dengan konsisten.

Kelebihan Pemisahan Jadwal Pemilu

  1. Mengurangi Beban Logistik dan Teknis
    Pemilu serentak pada 2019 dan 2024 terbukti membebani KPU, Bawaslu, dan aparat keamanan. Pemisahan jadwal pemilu dapat mengurangi kelelahan administratif, menciptakan proses yang lebih terstruktur, dan memungkinkan para penyelenggara untuk bekerja lebih efisien.

  2. Memperkuat Akuntabilitas Politik Lokal
    Pemilu yang terpisah memungkinkan pemilih lebih fokus pada calon legislatif lokal, mengurangi pengaruh politik nasional (coattail effect). Ini meningkatkan akuntabilitas politik lokal, karena pemilih dapat menilai calon legislatif berdasarkan isu dan kebutuhan spesifik daerah mereka.

  3. Meningkatkan Kualitas Demokrasi
    Dari perspektif teori demokrasi, pemisahan jadwal pemilu meningkatkan kualitas demokrasi dengan memberi pemilih kesempatan untuk membuat keputusan yang lebih objektif, terfokus, dan berdasarkan isu-isu yang relevan dengan tingkat pemerintahan yang mereka pilih.

  4. Sinkronisasi Lebih Baik dengan Pilkada
    Pemisahan pemilu memungkinkan pemilihan DPRD dan kepala daerah dilakukan bersamaan, yang dapat memperkuat koherensi antara legislatif dan eksekutif di tingkat daerah. Ini meningkatkan efektivitas pemerintahan lokal, sesuai dengan teori koordinasi pemerintahan daerah.

  5. Memungkinkan Evaluasi Bertahap
    Dengan adanya jeda waktu dua tahun, evaluasi pelaksanaan pemilu dapat dilakukan dengan lebih cermat. Pemerintah dan KPU memiliki waktu yang cukup untuk memperbaiki prosedur dan teknis pelaksanaan pemilu, yang akan berdampak pada efisiensi dan efektivitas pemilu berikutnya.

Kekurangan Pemisahan Jadwal Pemilu

  1. Menurunkan Keserentakan Pemilu
    Pemisahan jadwal pemilu bertentangan dengan semangat Pasal 22E UUD 1945 yang menghendaki pemilu serentak. Ketidaksesuaian ini dapat menciptakan ketidakharmonisan dalam implementasi prinsip keserentakan yang dimandatkan oleh konstitusi, dan berpotensi mengurangi integritas demokrasi.

  2. Instabilitas Politik dan Sosial
    Pemisahan pemilu legislatif dan eksekutif berpotensi memperpanjang ketegangan politik, menciptakan suasana politik yang tidak stabil, dan menghambat keberlanjutan kebijakan pembangunan. Dalam jangka panjang, hal ini bisa memperburuk polarisasi sosial.

  3. Meningkatkan Biaya Politik dan Efisiensi Anggaran
    Pemisahan pemilu mengarah pada pengeluaran lebih besar, karena pengadaan logistik, pengamanan, dan operasional dua kali dalam waktu dekat. Biaya ini akan membebani anggaran negara. Oleh karena itu, diperlukan strategi efisiensi anggaran yang cermat untuk mengurangi pemborosan.

  4. Perubahan Regulasi yang Kompleks
    Pemisahan pemilu membutuhkan perubahan mendalam dalam berbagai undang-undang yang terkait, seperti UU Pemilu, UU Pilkada, dan UU Pemerintahan Daerah. Penyelarasan regulasi menjadi sangat penting agar tidak menciptakan ketidakharmonisan hukum dan prosedural.

  5. Risiko Manipulasi Wewenang Legislatif Daerah
    Pemisahan pemilu dapat menyebabkan hubungan yang terlalu kooperatif antara DPRD dan Kepala Daerah, yang berisiko mengurangi fungsi pengawasan legislatif terhadap eksekutif. Untuk mengurangi risiko ini, sistem pemilu perlu memperkuat posisi DPRD agar tetap independen dan objektif dalam melaksanakan pengawasan.

Langkah-langkah Mengatasi Tantangan Pemisahan Pemilu

  1. Penyusunan Kebijakan yang Inklusif dan Transparan
    Pemerintah perlu melibatkan berbagai pihak dalam merumuskan kebijakan pemilu yang baru, memastikan inklusivitas dan transparansi dalam setiap tahap kebijakan.

  2. Penggunaan Teknologi dalam Pemilu
    Pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi pemilu, seperti digitalisasi penghitungan suara dan peningkatan akses informasi bagi pemilih, dapat mengurangi biaya serta meningkatkan kepercayaan publik terhadap proses pemilu.

  3. Pendidikan Politik yang Berkelanjutan
    Pendidikan politik kepada masyarakat harus diperkuat agar pemilih memahami perubahan sistem pemilu, serta pentingnya stabilitas politik dalam pembangunan negara.

  4. Pengawasan dan Evaluasi yang Ketat
    Penting untuk meningkatkan pengawasan terhadap proses pemilu dan penggunaan anggaran yang lebih efisien. Pengawasan yang ketat akan mencegah pemborosan dan memastikan kualitas pelaksanaan pemilu yang lebih baik.

  5. Koordinasi Antar Lembaga
    Meningkatkan koordinasi antara lembaga-lembaga terkait—baik di tingkat pusat maupun daerah—akan memastikan transisi menuju sistem pemilu baru berjalan dengan lancar, tanpa menimbulkan ketidakharmonisan antar lembaga.

Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024 bukan hanya preseden yuridis yang penting, tetapi juga menjadi momentum untuk reformasi sistem kepemiluan nasional. Pemisahan pemilu nasional dan lokal, meskipun membawa tantangan, membuka jalan untuk perbaikan dalam tata kelola pemerintahan yang lebih efisien, transparan, dan akuntabel. Melalui langkah-langkah konkret yang melibatkan teknologi, kebijakan yang inklusif, dan evaluasi yang berkelanjutan, diharapkan penyelenggaraan pemilu di Indonesia dapat menjadi lebih efektif, menjaga stabilitas politik, serta tetap berlandaskan pada prinsip-prinsip konstitusional yang tertuang dalam UUD 1945.


#kengkei!






Koperasi Merah Putih: Mimpi Besar yang Harus Dibangun dengan Kaki di Tanah ( Sebuah Opini )

  Di tengah gemuruh wacana ekonomi kerakyatan yang kerap menguap menjadi sekadar retorika, kehadiran konsep Koperasi Merah Putih layaknya em...