Di tengah gemuruh wacana ekonomi kerakyatan yang kerap
menguap menjadi sekadar retorika, kehadiran konsep Koperasi Merah Putih
layaknya embun di musim kemarau. Sebagai pengamat yang akrab dengan denyut nadi
ekonomi akar rumput - dari warung kopi tubruk hingga lapak rokok kartel, saya
melihat peluang emas sekaligus jurang kegagalan dalam gagasan ini.
Jiwa dan Semangat Koperasi Merah Putih
Inti dari konsep ini sesungguhnya mulia: menghidupkan
kembali ruh koperasi sebagai penyangga utama perekonomian bangsa. Bukan sekadar
wadah iuran atau pembagi sembako, melainkan mesin penggerak ekonomi riil yang
mampu mengangkat martabat UMKM setara dengan korporasi besar. Namun, seberapa realistiskah
cita-cita luhur ini?
Di era serbadigital dimana marketplace asing mendominasi,
Koperasi Merah Putih menawarkan janji kemandirian. Bayangkan petani kopi
Enrekang yang mampu menjual langsung kepada konsumen akhir, bebas dari belitan
5-6 tengkulak. Atau pengrajin rotan Desa Ledan yang menembus pasar ekspor
dengan harga pantas. Inilah mimpi kolektif yang patut diperjuangkan.
Belajar dari Pengalaman BUMDes dan KUD
Sebelum larut dalam euforia, mari berkaca pada dua
pendahulu: BUMDes dan KUD.
BUMDes yang diagungkan sebagai lokomotif ekonomi desa,
nyatanya banyak yang menjadi "proyek ATM" - hidup sebatas ada
suntikan dana pemerintah. Sebuah laporan media mengungkap BUMDes di Jawa Timur
dengan gedung megah namun aktivitas ekonomi mandek setelah dana stimulan habis.
Nasib KUD lebih memilukan. Yang dulu menjadi kebanggaan Orde
Baru, kini menjelma "koperasi zombie" - ada secara administratif tapi
mati secara ekonomi. Di berbagai daerah, aset KUD berupa puluhan hektar tanah
terbengkalai akibat konflik internal, ironisnya justru disewakan ke perusahaan
dengan harga murah.
Tiga Penyakit Kronis yang Harus Diwaspadai
Pengamatan lapangan mengungkap tiga penyakit ganas yang
menggerogoti koperasi:
- Sindrom
Ketergantungan: Ketergantungan berlebihan pada APBN/APBD membuat
banyak koperasi kolaps saat program pemerintah berakhir
- Virus
KKN: Praktik tidak transparan yang membuat dana anggota raib tanpa
jejak
- Penyakit
Sklerosis: Kekakuan beradaptasi dengan perubahan zaman, masih bertahan
dengan sistem manual di era digital
Pilar Pembangunan Koperasi Merah Putih
Meski tantangan berat, Koperasi Merah Putih bisa menjadi
game changer dengan:
- Meritokrasi:
Sistem rekrutmen terbuka berdasarkan kompetensi, bukan kedekatan
- Transformasi
Digital: Mengintegrasikan teknologi dalam seluruh aspek operasional
- Kemandirian
Bisnis: Membangun model bisnis berkelanjutan, bukan mengandalkan
bantuan
Peluang di Era Digital
Di genggaman tangan kini terbentang peluang tak terbatas:
- Platform
e-commerce khusus produk anggota yang mampu bersaing dengan marketplace
besar
- Sistem
pembiayaan peer-to-peer berbasis komunitas dengan bunga manusiawi
- Pusat
pelatihan digital untuk meningkatkan kapasitas anggota
Peran Vital Generasi Muda
Kebangkitan Koperasi Merah Putih membutuhkan sentuhan
generasi muda yang visioner. Seperti di Bali, dimana KUD bangkit karena
dikelola anak muda yang menghadirkan:
- Sistem
administrasi berbasis cloud
- Transparansi
keuangan real-time via aplikasi
- Strategi
pemasaran kreatif melalui TikTok dan Instagram Reels
Peran Ideal Pemerintah
Pemerintah harus bertransformasi dari "diktator"
menjadi fasilitator dengan:
- Pelatihan
manajemen modern berbasis praktik
- Jaringan
akses pasar yang terintegrasi
- Penyediaan
infrastruktur pendukung memadai
Titik Balik Sejarah
Kita berada di persimpangan penting dimana Koperasi Merah
Putih bisa menjadi:
- Monumen
kegagalan ekonomi kerakyatan kesekian, atau
- Lompatan
sejarah yang mengubah wajah perekonomian nasional
Seperti petuah bijak petani Kediri: "Koperasi ibarat
tanaman. Butuh tanah subur (regulasi), air cukup (modal), sinar matahari
(transparansi), dan petani tekun (komitmen)."
Koperasi Merah Putih memang mimpi besar. Namun dengan belajar
dari kegagalan masa lalu dan komitmen semua pihak, mimpi ini bisa menjadi
nyata. Jangan terjebak romantisme masa lalu, tapi juga jangan kehilangan
semangat membangun masa depan.
Sudah cukup janji. Saatnya bekerja! Bukan dengan retorika
kosong, melainkan aksi nyata dimulai dari lingkungan terkecil kita.
Sambil menyeruput kopi terakhir, saya membayangkan produk
koperasi Indonesia bersaing di panggung dunia - bukan sebagai komoditas murah,
melainkan produk premium bernilai tambah. Bukankah koperasi pertanian Thailand
dan Vietnam telah membuktikan ini mungkin?
Kunci suksesnya terletak pada konsistensi dan keberanian
berinovasi. Dengan semangat gotong royong sebagai DNA bangsa dan kecerdasan
memanfaatkan teknologi, Koperasi Merah Putih bisa menjadi mercusuar ekonomi
kerakyatan dunia.
Mari buktikan bahwa ekonomi berkeadilan bukan utopia,
melainkan realitas yang bisa kita wujudkan bersama melalui kerja keras dan
ketekunan. Selamat berjuang!