
Dalam perspektif ilmu pemerintahan, khususnya dalam teori tata kelola demokratis (democratic governance), desain pemilu adalah elemen struktural yang memengaruhi langsung efektivitas penyelenggaraan negara. Pemilu serentak yang melibatkan lima jenis pemilihan—Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, serta DPRD provinsi dan kabupaten/kota—telah memberikan tekanan berlebih terhadap kapasitas institusional Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan sumber daya manusia di tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS). Masalah teknis dan administratif yang muncul, mulai dari kelelahan petugas KPPS yang mengakibatkan korban jiwa, hingga kekacauan dalam rekapitulasi suara, mengindikasikan betapa beratnya beban yang dihadapi oleh penyelenggara pemilu.
Secara yuridis, pemohon menganggap bahwa desain pemilu serentak dalam UU No. 7 Tahun 2017 bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusional, terutama terkait asas keadilan pemilu dan efektivitas pelaksanaan kedaulatan rakyat yang tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 22E UUD 1945. Dalam teori hukum tata negara, pengujian ini menggambarkan penerapan asas supremasi konstitusi (the supremacy of the Constitution), yang memberi kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menilai apakah suatu norma hukum sudah memenuhi prinsip legalitas dan proporsionalitas dalam negara hukum demokratis.
Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menegaskan bahwa integrasi pemilu dalam satu hari, meskipun mungkin efisien dalam teori, ternyata tidak menjamin efisiensi substantif. Justru, hal tersebut mempersempit ruang deliberasi publik yang berkualitas, khususnya dalam pemilihan legislatif daerah. Oleh karena itu, dalam Putusan No. 135/PUU-XXII/2024, MK memutuskan bahwa pemilu legislatif daerah (DPRD provinsi dan kabupaten/kota) harus dipisahkan dari pemilu nasional, dengan interval minimal dua tahun setelah pelantikan Presiden dan Wakil Presiden.
Pemisahan Pemilu: Langkah Korektif dalam Demokrasi
Putusan MK ini dapat dipahami sebagai langkah korektif dalam proses institusionalisasi demokrasi, sebagaimana dijelaskan dalam teori demokrasi prosedural dan substantif. Pemisahan pemilu bertujuan untuk meningkatkan efektivitas administrasi pemilu sekaligus memperkuat demokrasi lokal yang lebih akuntabel dan terfokus.
Namun, dari sudut pandang teori sistem hukum, keputusan ini membawa implikasi sistemik terhadap struktur hukum dan kelembagaan penyelenggaraan pemilu. Pemisahan jadwal pemilu membutuhkan rekonstruksi regulasi teknis, penguatan kapasitas kelembagaan, serta perencanaan anggaran yang lebih kompleks. Hal ini memerlukan koordinasi lintas kelembagaan dan kebijakan berkelanjutan agar prinsip-prinsip hukum tata pemerintahan yang baik (good governance) dapat terwujud dengan konsisten.
Kelebihan Pemisahan Jadwal Pemilu
-
Mengurangi Beban Logistik dan Teknis
Pemilu serentak pada 2019 dan 2024 terbukti membebani KPU, Bawaslu, dan aparat keamanan. Pemisahan jadwal pemilu dapat mengurangi kelelahan administratif, menciptakan proses yang lebih terstruktur, dan memungkinkan para penyelenggara untuk bekerja lebih efisien. -
Memperkuat Akuntabilitas Politik Lokal
Pemilu yang terpisah memungkinkan pemilih lebih fokus pada calon legislatif lokal, mengurangi pengaruh politik nasional (coattail effect). Ini meningkatkan akuntabilitas politik lokal, karena pemilih dapat menilai calon legislatif berdasarkan isu dan kebutuhan spesifik daerah mereka. -
Meningkatkan Kualitas Demokrasi
Dari perspektif teori demokrasi, pemisahan jadwal pemilu meningkatkan kualitas demokrasi dengan memberi pemilih kesempatan untuk membuat keputusan yang lebih objektif, terfokus, dan berdasarkan isu-isu yang relevan dengan tingkat pemerintahan yang mereka pilih. -
Sinkronisasi Lebih Baik dengan Pilkada
Pemisahan pemilu memungkinkan pemilihan DPRD dan kepala daerah dilakukan bersamaan, yang dapat memperkuat koherensi antara legislatif dan eksekutif di tingkat daerah. Ini meningkatkan efektivitas pemerintahan lokal, sesuai dengan teori koordinasi pemerintahan daerah. -
Memungkinkan Evaluasi Bertahap
Dengan adanya jeda waktu dua tahun, evaluasi pelaksanaan pemilu dapat dilakukan dengan lebih cermat. Pemerintah dan KPU memiliki waktu yang cukup untuk memperbaiki prosedur dan teknis pelaksanaan pemilu, yang akan berdampak pada efisiensi dan efektivitas pemilu berikutnya.
Kekurangan Pemisahan Jadwal Pemilu
-
Menurunkan Keserentakan Pemilu
Pemisahan jadwal pemilu bertentangan dengan semangat Pasal 22E UUD 1945 yang menghendaki pemilu serentak. Ketidaksesuaian ini dapat menciptakan ketidakharmonisan dalam implementasi prinsip keserentakan yang dimandatkan oleh konstitusi, dan berpotensi mengurangi integritas demokrasi. -
Instabilitas Politik dan Sosial
Pemisahan pemilu legislatif dan eksekutif berpotensi memperpanjang ketegangan politik, menciptakan suasana politik yang tidak stabil, dan menghambat keberlanjutan kebijakan pembangunan. Dalam jangka panjang, hal ini bisa memperburuk polarisasi sosial. -
Meningkatkan Biaya Politik dan Efisiensi Anggaran
Pemisahan pemilu mengarah pada pengeluaran lebih besar, karena pengadaan logistik, pengamanan, dan operasional dua kali dalam waktu dekat. Biaya ini akan membebani anggaran negara. Oleh karena itu, diperlukan strategi efisiensi anggaran yang cermat untuk mengurangi pemborosan. -
Perubahan Regulasi yang Kompleks
Pemisahan pemilu membutuhkan perubahan mendalam dalam berbagai undang-undang yang terkait, seperti UU Pemilu, UU Pilkada, dan UU Pemerintahan Daerah. Penyelarasan regulasi menjadi sangat penting agar tidak menciptakan ketidakharmonisan hukum dan prosedural. -
Risiko Manipulasi Wewenang Legislatif Daerah
Pemisahan pemilu dapat menyebabkan hubungan yang terlalu kooperatif antara DPRD dan Kepala Daerah, yang berisiko mengurangi fungsi pengawasan legislatif terhadap eksekutif. Untuk mengurangi risiko ini, sistem pemilu perlu memperkuat posisi DPRD agar tetap independen dan objektif dalam melaksanakan pengawasan.
Langkah-langkah Mengatasi Tantangan Pemisahan Pemilu
-
Penyusunan Kebijakan yang Inklusif dan Transparan
Pemerintah perlu melibatkan berbagai pihak dalam merumuskan kebijakan pemilu yang baru, memastikan inklusivitas dan transparansi dalam setiap tahap kebijakan. -
Penggunaan Teknologi dalam Pemilu
Pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi pemilu, seperti digitalisasi penghitungan suara dan peningkatan akses informasi bagi pemilih, dapat mengurangi biaya serta meningkatkan kepercayaan publik terhadap proses pemilu. -
Pendidikan Politik yang Berkelanjutan
Pendidikan politik kepada masyarakat harus diperkuat agar pemilih memahami perubahan sistem pemilu, serta pentingnya stabilitas politik dalam pembangunan negara. -
Pengawasan dan Evaluasi yang Ketat
Penting untuk meningkatkan pengawasan terhadap proses pemilu dan penggunaan anggaran yang lebih efisien. Pengawasan yang ketat akan mencegah pemborosan dan memastikan kualitas pelaksanaan pemilu yang lebih baik. -
Koordinasi Antar Lembaga
Meningkatkan koordinasi antara lembaga-lembaga terkait—baik di tingkat pusat maupun daerah—akan memastikan transisi menuju sistem pemilu baru berjalan dengan lancar, tanpa menimbulkan ketidakharmonisan antar lembaga.
Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024 bukan hanya preseden yuridis yang penting, tetapi juga menjadi momentum untuk reformasi sistem kepemiluan nasional. Pemisahan pemilu nasional dan lokal, meskipun membawa tantangan, membuka jalan untuk perbaikan dalam tata kelola pemerintahan yang lebih efisien, transparan, dan akuntabel. Melalui langkah-langkah konkret yang melibatkan teknologi, kebijakan yang inklusif, dan evaluasi yang berkelanjutan, diharapkan penyelenggaraan pemilu di Indonesia dapat menjadi lebih efektif, menjaga stabilitas politik, serta tetap berlandaskan pada prinsip-prinsip konstitusional yang tertuang dalam UUD 1945.
#kengkei!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar