Suatu hari yang penuh kenangan, saya diajak oleh seorang sahabat pemilik atau owner Kopi Tjora untuk menyambut malam di Kedai Majao, sebuah tempat yang sudah lama dikenal di Rura Anggeraja. Kedai ini tak hanya terkenal dengan kopi yang rasanya menggugah selera, tetapi juga dengan cerita-cerita sejarah yang menyimpan kekuatan dan kebijaksanaan. Kedai Majao bukan sekadar tempat untuk menikmati kopi, melainkan sebuah ruang untuk menyelami kedalaman waktu, tempat yang membiarkan kita merasakan jejak-jejak masa lalu.
Sayapun lemudian duduk dengan secangkir kopi, pandangan saya tertuju pada Gunung Bambapuang yang menjulang tinggi. Keindahan alam ini bukan sekadar pemandangan biasa. Gunung Bambapuang adalah saksi bisu dari sejarah yang mengalir dalam darah tanah Duri. Di kaki gunung ini lahir kisah legendaris tentang Kerajaan Tallu Batu Papan, sebuah kerajaan yang terbentuk lewat tangan bijak seorang raja bernama Puang Pasalin. Beliau dikenal dengan gelar To Mangpeluah Padang, sebuah gelar yang menandakan kebijaksanaan luar biasa dalam membagi kekuasaan di Tanah Duri.
Dahulu kala, Puang Pasalin bukan hanya memerintah, tapi juga membentuk sejarah. Ia membagi wilayah Duri menjadi tiga kerajaan, yang dipimpin oleh tiga orang raja yang masih bersaudara kandung. Maka lahirlah "Tallu Batu Papan", yang dalam bahasa lontara berarti Tiga Kerajaan yang Dipimpin oleh Tiga Orang Raja yang Masih Bersaudara Kandung. Sebuah pembagian yang mencerminkan kebijaksanaan dalam menjaga keseimbangan dan keharmonisan antara sesama.
Puang Pasalin, dengan keteguhan hatinya, juga dianugerahi tujuh orang anak, namun hanya tiga yang meneruskan legasi kepemimpinan. Mereka adalah Puang Kamaniang (Puang To Matasa'), Puang Kapatahi (Puang To Mataran), dan Puang Kadere (Puang To Mala'bih). Ketiga putra ini lah yang kemudian melanjutkan tongkat estafet pemerintahan, masing-masing memimpin wilayah yang menjadi bagian dari kerajaan yang terbagi dengan cermat. Kisah mereka adalah bagian dari sejarah yang tak lekang oleh waktu, sebuah perjalanan panjang yang masih bisa kita rasakan, meskipun hari ini kita hanya menikmati secangkir kopi.
Kehangatan kopi di Kedai Majao ini seperti membawa saya berkelana dalam waktu, seakan setiap tetes kopi yang masuk ke dalam tubuh memberi kesempatan bagi sejarah untuk hidup kembali. Setiap seduhan kopi seolah menyatu dengan kisah para leluhur yang menjaga tanah ini dengan penuh kesabaran dan kebijaksanaan. Begitu juga, dalam setiap cangkir kopi, ada ketelatenan yang mengingatkan kita pada betapa berartinya setiap langkah yang kita ambil dalam hidup, sama seperti para raja yang bijak membangun kerajaan mereka.
Di kedai ini, saya teringat akan sebuah kutipan dari kaum sufi yang sangat mengena: "Kopi bukan hanya minuman, tapi juga jalan menuju kedamaian jiwa. Setiap tetesnya adalah meditasi, setiap aroma adalah doa." Di Kedai Majao, kopi lebih dari sekadar penyegar raga. Setiap cangkir yang dihidangkan adalah penghubung antara masa kini dan masa lalu, membawa kedamaian dan kebijaksanaan yang tak tampak oleh mata, namun terasa dalam setiap detiknya.
Jadi, setiap kali saya duduk di Kedai Majao, secangkir kopi di tangan, saya merasa seperti sedang menulis ulang sejarah. Seperti para raja yang memimpin dengan bijak, saya pun diajak untuk meresapi makna di balik setiap tegukan kopi. Di sini, kopi bukan hanya soal rasa, tetapi juga tentang bagaimana kita menghargai perjalanan panjang kehidupan yang penuh dengan cerita, penuh dengan makna. Begitu banyak yang bisa kita pelajari, lebih dari sekadar rasa, tapi juga kebijaksanaan yang mengalir dalam sejarah tanah ini, yang sampai hari ini tetap terjaga dengan baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar