Kamis, 31 Juli 2025

"Ketika Luffy Jadi Alibi" fiksi One Piece







Coretan Poneglyph didinding.

Matahari terik membakar debu jalanan di Kampung Nelayan Muara Hijau. Bau ikan asin dan garam bercampur dengan anyir lumpur di pelabuhan kecil. Di gubuk reyotnya, Pak Darmaji memeluk erat foto anak perempuannya, Laras, yang merantau ke kota. Sejak proyek reklamasi "Teluk Emas" mencaplok wilayah tangkap mereka, kehidupan semakin sulit. Jaring-jaring sering kosong, hutang menumpuk. Ia hanya bisa menghela napas panjang, menyaksikan kapal-kapal besar proyek itu merusak terumbu karang tempat ikan bersarang.

Sementara itu, di layar ponsel Bu Rina, ibu rumah tangga di komplek perumahan mewah tak jauh dari situ, dunia sedang ramai.Feed media sosialnya penuh bendera bergambar tengkorak bertopi jerami dan tulang bersilang bendera Bajak Laut Topi Jerami dari One Piece. Tagar OnePieceDiIndonesia sedang trending. Awalnya diposting oleh beberapa akun , lalu tiba-tiba semua orang ikut memposting dari berbagai kalangan . "Merdeka seperti Luffy!" tulis akun dengan foto selfie memegang bendera mini. "Kejar One Piece-mu!" tweet seorang pengusaha sambil memajang bendera besar di depan kantornya yang megah.

Bu Rina, yang hanya tahu One Piece sebatas nama, segera membeli bendera kecil dari online shop. Ia upload foto bendera itu di depan pot bunga anggreknya. "Waktunya petualangan! #OnePieceDiIndonesia #MerdekaSejati," tulisnya. *Like* dan komentar "Keren Bu!" pun membanjir. Ia merasa menjadi bagian dari sesuatu yang besar, sesuatu yang heroik, meski tak benar-benar paham apa arti bendera itu di dalam ceritanya, apalagi di dunia nyata.


Di kantor balaikota, Pak Broto, sang Bupati, tersenyum puas melihat engagement di akun resminya. Foto dirinya memegang bendera Bajak Laut Topi Jerami di atas mimbar resmi kantornya viral. "Semangat Nyaakkooodaaammm! Menuju Indonesia yang lebih baik!" tulisnya. Tim humasnya cerdik. Proyek reklamasi Teluk Emas yang menuai protes warga Muara Hijau tengah membutuhkan pengalihan isu. Tren One Piece ini adalah berkah. Mereka bahkan membuat challenge "Davy Back Fight ala Muara Hijau" – kontes dance di TikTok dengan hadiah uang tunai, tentu saja dengan latar bendera Topi Jerami. Isu lingkungan dan nelayan pun tenggelam di lautan postingan bendera.


Suatu sore, anak Bu Rina, Ardi, yang SMA dan penggemar berat One Piece, pulang dengan wajah masam. "Ibu, kenapa sih ikut-ikutan pasang bendera bajak laut? Ibu tahu nggak artinya?" protesnya melihat bendera kecil di pot bunga.


Lho, kan lagi trending, Nak. Biar kelihatan update. Katanya semangat merdeka, jawab Bu Rina bingung.


Ardi menggeleng. Itu bendera kru Monkey D. Luffy, Ibu. Mereka bajak laut yang berjuang melawan World Government yang korup dan menindas! Mereka memperjuangkan kebebasan sejati, buat orang-orang kecil yang terzhalimi! Bukan sekadar simbol trending di media sosial. Matanya berapi-api. Ia lalu bercerita tentang pulau Ohara yang dihancurkan karena ilmuwan yang mencari kebenaran sejarah, tentang nelayan-nelayan di pulau kecil yang ditindas oleh bajak laut bayaran World Government.


Kata-kata Ardi seperti pukulan bagi Bu Rina. Ia teringat berita singkat yang ia scroll lalu tentang nelayan Muara Hijau yang memprotes reklamasi. Ia buka lagi feednya. Di antara lautan postingan bendera Topi Jerami yang ceria, ada satu tweet yang nyaris tak terbaca dari akun warga Muara Hijau: foto Pak Darmaji dengan wajah lesu di depan gubuknya, latarnya kapal-kapal pengeruk proyek Teluk Emas. Caption-nya singkat: "Nelayan Muara Hijau kehilangan lautnya. Di mana 'merdeka' kita?" Ironisnya, di kolom komentar, seseorang justru menulis: "Posting bendera One Piece biar semangat omcuu!".Bu Rina merasa seperti Nami saat pertama kali menyadari Arlong telah membohonginya. Ia melihat bendera kecil di pot bunganya tak lagi heroik, tapi tiba-tiba terasa kosong, bahkan munafik. Bendera yang seharusnya simbol perlawanan terhadap tirani, justru dipakai oleh para "penguasa" untuk menutupi tindakan mereka sendiri. Ini seperti Marine yang menggunakan simbol keadilan untuk menutupi kejahatan World Government.Netizen ribut-ribut soal bendera bajak laut, sementara bajak laut bayaran proyek mengeruk laut rakyat di depan mata.Ia tak bisa diam. Dengan tangan gemetar, Bu Rina meng-upload foto bendera Topi Jerami kecil itu lagi. Tapi kali ini, di latar belakangnya sengaja ia selipkan potret layar ponsel yang menampilkan berita tentang protes nelayan Muara Hijau. Caption-nya ia tulis dengan hati-hati:

"Mungkin kita semua terpesona oleh bendera Topi Jerami karena dalam hati, kita rindu kebebasan & keadilan seperti yang diperjuangkan Luffy. Tapi jangan sampai kita seperti warga Dressrosa yang asyik party sementara Doflamingo mengendalikan mereka dengan benang. Bendera adalah simbol. Tindakan nyata memperjuangkan yang lemah, seperti Luffy ke Fishman Island atau Wano Kuni, itulah semangat sejatinya. Apa arti bendera ini jika kita abai pada 'Muara Hijau' di depan kita? #OnePieceDiIndonesia #BukanHanyaBendera"


Postingan Bu Rina itu bagai bom kecil. Beberapa netizen yang juga mulai jenuh dengan euforia kosong, mulai like dan share. Komentar bermunculan: "Setuju! Jangan cuma virtue signaling!", "Apa hubungannya bendera anime sama nelayan?", "Ini kritik buat pemerintah yang ikut nge-trend ya?". Perlahan, tagar #SaveMuaraHijau mulai bermunculan, diselipkan di antara postingan bendera.


Pak Darmaji di gubuknya tak tahu apa-apa tentang One Piece atau trending topic. Yang ia tahu, tiba-tiba ada lebih banyak orang datang ke Muara Hijau. Bukan hanya aktivis lama, tapi juga anak-anak muda dengan kaos bergambar bajak laut. Mereka memegang ponsel, live streaming, mewawancarainya. "Ceritakan, Pak. Apa yang terjadi di sini?" tanya seorang pemuda dengan semangat laksana Zoro memegang pedang.Pak Darmaji pun bercerita. Tentang laut yang jadi sumber hidup, tentang janji manis yang tak kunjung terwujud, tentang ketakutan mereka yang kecil. Kisahnya direkam, disebarkan, viral di bawah bendera hashtag #SaveMuaraHijau dan #OnePieceNyata.


Di balik meja kerjanya yang mewah, Pak Broto mulai gerah. Timeline-nya yang dulu dipenuhi pujian, kini mulai diisi tagar kritis dan foto gubuk reyot Pak Darmaji. Ia menyentak telepon. "Kenapa engagement kita turun?! Ciptakan trend baru! Atau... buatkan fanart saya sebagai Luffy sedang membangun jembatan!" perintahnya, panik. Tapi badai kecil telah dimulai.Netizen yang semula hanya memposting simbol, mulai mencari 'Poneglyph' di dunia nyata – catatan ketidakadilan yang tersembunyi.Bendera Topi Jerami masih berkibar di feed media sosial. Tapi kini, di antara yang sekadar ikut arus, muncul kelompok yang mulai memahami bahwa semangat One Piece bukan tentang estetika bendera di feed, tapi tentang keberanian melawan tirani apa pun bentuknya, meski badai menghadang. Petualangan sejati, ternyata, bukan mencari harta karun di lautan luas, tapi memperjuangkan keadilan di depan mata, di "Grand Line" bernama Indonesia. Revolusi kecil di layar itu baru saja dimulai, dan seperti kata Luffy, mimpi orang-orang... tak pernah ada yang mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  Mengukir Etos, Menyemai Paripurna: 19 Tahun Jejak Sang Patriot di Bumi Buntu Batu  Di antara gemuruh genderang Pagalelu dan semerbak wangi...